Sabtu
Tangis untuk Adikku
15.17
|
Aku dilahirkan di sebuah desa pegunungan yang terpencil.
Orangtuaku petani. Hari demi hari, orangtuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka menghadap langit. Aku mempunyai seorang adik laki-laki, yang 3
tahun usianya lebih muda dari diriku, yang mencintaiku lebih dari aku
mencintainya.
Suatu ketika aku menginginkan sarung tangan seperti
gadis-gadis lain yang memilikinya juga. Untuk itu, aku mengambil uang ayahku di
lacinya. Ayahku segera menyadari kehilangan. Beliau membuat kami, aku dan
adikku berlutut di depan tembok, dengan bilah bamboo di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” hardik ayahku. Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi dia
berkata, “Baiklah jika begitu kalian berdua layak dipukul.”
Ayah mengangkat bilah bambu tinggi-tinggi dan siap
memukulkannya kepada kami. Tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
“Ayah, aku yang melakukannya.”
Bilah bambu itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga dia mencambuki adikku sampai tersengal-sengal
kehabisan nafas. Sesudahnya Ayah duduk di kursi batu kamu dan berkata dengan
marah, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang. Hal apa lagi yang akan
kamu lakukan kelak? Kamu layak dipukul sampai mati. Kamu pencuri tidak tahu
malu.”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Punggungnya penuh luka. Tapi dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Di
tengah malam itu, aku menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan
tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku yang tidak memiliki
keberanian untuk mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tetapi insiden itu masih
terasa seperti kemarin. Aku tidak akan pernah akan lupa tampang adikku ketika
ia melindungiku. Saat itu dia berusia 8 dan aku 11.
Ketika adikku menyelesaikan SMP, dia diterima di SMA di kota
kabupaten. Saat yang sama aku diterima masuk Universitas di kota Provinsi.
Suatu malam, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya bungkus
demi bungkus. Aku mendengarnya berkata berat, “Kedua anak kita begitu baik
prestasinya.” Saat yang sama Ibu terlihat menghapus air mata yang mengalir dan
menghela nafa. “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?”
Saat itu juga adikku keluar menemui ayah dan berkata, “Ayah,
aku tidak mau sekolah lagi. Aku telah cukup dengan membaca buku.”
Ayah mengayunkan tangannya ke wajah adikku, menamparnya.
“Mengapa kamu mempunyai jiwa yang keparat lemahnya? Bahkan jika aku harus
mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai.” Dan
kemudian ia mengetuk setiap rumah di desa itu untuk meminjam uang.
Kuulurkan tanganku selembut mungkin ke wajah adikku yang
membengkak, dan kubilang, “Anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau
tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan seperti ini.” Aku,
sebaliknya telah memutuskan untuk tidak meneruskan ke Universitas.
Siapa kira keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik
kertas di bantalku: “Kak, masuk ke Universitas tidak mudah. Aku akan cari kerja
dan mengirimimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan
menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku menghilang. Tahun itu,
adikku berusia 16. Aku 19.
Dengan uang yang dipinjam ayahku dari seluruh orang desa dan
uang hasil adikku dari mengangkut semen di punggungnya di sebuah perusahaan
konstruksi, aku akhirnya sampai di tahun ke tiga. Suatu hari, aku sedang
belajar di kamar kosku ketika seorang teman masuk dan memberi tahu, “Ada
penduduk desa menunggumu di luar.”
Mengapa ada penduduk desa yang mencariku? Aku berjalan
keluar. Kulihat adikku dari jauh. Seluruh badannya kotor tertutup debu semen
dan pasir. “Mengapa kamu tidak bilang ke temanku kalau kamu adikku?” tanyaku.
Tersenyum, dia menjawab, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?”
Aku merasa begitu trenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari tubuh adikku. “Aku tidak peduli omongan siapa pun!
Kamu adikku bagaimanapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu,”
kataku tercekat-cekat.
Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk
kupu-kupu. Ia memakaikan kepadaku, dan menjelaskan, “Kulihat semua gadis kota
memakainya. Jadi, kupikir kamu pun harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku menarik adikku dalam
pelukanku dan menangis, dan menangis. Tahun itu, dia berusia 19. Aku 22.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang
pecah telah diganti. Di mana-mana kelihatan bersih tidak seperti sebelumnya.
Setelah pacarku pulang, aku menari bak gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu
tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tapi
katanya, sambil tersenyum, “Itu adikmu, yang pulang awal untuk membersihkan
rumah ini. Tidakkah kamu lihat luka ditangannya? Itu terluka akibat memasang
kaca jendela baru itu.”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang
kurus, ribuan jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan antiseptik ke lukanya dan
membalutnya. “Apakah itu sakit?” tanyaku. Dia menggelengkan kepala.
“Tidak. Tidak sakit. Ini karena… Kamu tahu, ketika aku
bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan di kakiku. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja, dan..” Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata deras mengalir ke wajahku.
Saat itu dia 23. Aku 26.
Setelah menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku
dan aku mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka bilang, sekali meninggalkan desa, mereka tidak akan
tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju, “Kak, jagalah mertuamu
saja. Aku akan menjaga ayah dan ibu disini.”
Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan
adikku menjadi manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia berkeras memulai pekerjaan sebagai tukang reparasi.
Suatu hari, ketika adikku berada di atas tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, dia terkena kejutan listrik dan harus masuk rumah
sakit. Aku dan suamiku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak harus
melakukan hal berbahaya yang berakibat seperti ini. Lihat kamu sekarang. Lukamu
serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang serius di wajahnya, dia membela keputusannya,
“Pikirkan kakak ipar. Dia baru saja menjadi direktur. Dan aku tidak
berpendidikan. Jika aku menjadi manajer, cerita macam apa yang bakal
berhembus?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan keluar kata-kataku
terpatah-patah, “Tapi kamu kurang pendidikan karena aku.”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” kata adikku sembari
menggenggam tanganku. Tahun itu, dia berusia 26. Aku 29.
Adikku berusia 30 tahun ketika dia menikahi seorang gadis
petani dari desa itu. Pada acara pernikahannya, pembawa acara bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Bahkan tanpa berpikir
dia menjawab, “Kakakku!”
Dia melanjutkan dengan sebuah cerita yang bahkan tak dapat
kuingat. “Ketika saya pergi sekolah saat SD yang ada di desa lain, saya dan
kakak harus berjalan 2 jam untuk pergi ke sekolah. Suatu hari saya kehilangan
satu sarung tangan. Kakak saya memberikan satu kepunyaannya. Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan selama itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetar karena cuaca yang begitu dinginnya, sampai-sampai dia tidak bisa
memegang sumpitnya. Sejak hari itu saya bersumpah, selama saya masih hidup saya
akan menjaga kakak dan akan selalu baik padanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu dan semua orang
memalingkan perhatian padaku.
Bibirku terasa kelu. Kata-kata begitu susah kuucapkan, “Dalam
hidupku, orang yang paling dalam terima kasihku adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti aliran
sungai.
Anda terharu dengan kisah di atas? Kisah “Tangis untuk
Adikku” benar-benar membuat saya menangis., apa yang Anda rasakan? Setiap kisah
memiliki arti bagi yang mengetahuinya, namun hanya kisah yang menggugah hati
yang akan menginspirasi kehidupan. Kisah-kisah seperti itulah yang akan terus
dikenang.
Sumber
: http://psikologi-online.com
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
adik yang mulia,banggalah kamu jika menjadi kakaknya
BalasHapusmakasih ats kunjungannya. . . . .
Hapus