Sabtu
Terperangkap
15.13
|
“Namanya
Will. Dia seorang yang kaya raya untuk ukuran kita di Indonesia. Usianya muda,
masih 31. Kekayaannya puluhan juta dollar. Dia bekerja di salah satu perusahaan
raksasa di Wall Street, New York, yang merupakan pusat ekonomi dunia.
Penghasilannya setahun lebih dari 5 juta US$. Jika dikurs-kan dengan rupiah,
penghasilannya sekitar 55 miliar rupiah setahun. Itu artinya sebulan dia
berpenghasilan sekitar 4,5 miliar rupiah. Jika dihitung harian, maka dalam sehari
dia menerima sekitar 152 juta rupiah. Kabar bagus untuk para gadis, dia seorang
lajang. Mukanya pun rupawan. Oleh rekan-rekannya, dia dijuluki “The Handsome”,
alias si tampan. Yang tak kalah penting, Will sangat sopan, seorang gentleman
sejati dan sangat baik hati. Pendek kata, dia adalah pria yang paling diincar
di seantero wall-street. Para gadis di sana berlomba-lomba menaklukkan hatinya.
Gadis-gadis
di Wall-Street sudah tentu gadis-gadis yang luar biasa. Mereka semua pintar,
dan lulusan dari Perguruan Tinggi terbaik di dunia. Jika tidak, sudah tentu
mereka tidak akan menembus persaingan ketat di Wall-Street. Mereka juga
berpenghasilan besar. Serendah-rendahnya pegawai di perusahaan yang bergerak di
Wall-Street, penghasilannya masih cukup besar jika dibandingkan penghasilan
rata-rata kelas menengah di Amerika Serikat. Jadi, gadis-gadis itu adalah gadis
yang luar biasa. Will tahu itu.
Hampir
setiap minggu, Will berkencan dengan gadis yang berbeda. Begitu tidur bersama
selama beberapa malam, Will akan memutuskan hubungan itu. Tapi itu memang hal
yang biasa terjadi di New York. Tidak banyak kegaduhan karenanya. Masalahnya,
tidak ada gadis yang bisa menolak jika Will mulai beraksi menebarkan pesonanya.
Setiap gadis yang didekatinya takluk. Maklum, para gadis itu memang
mengharapkan Will. Begitulah yang terus terjadi dalam hidup Will. Hingga
suatu ketika dia menghilang dari pekerjaannya selama beberapa waktu.
Semua
orang di kantornya gempar. Will menghilang. Para gadis yang pernah dikencaninya
pun ikut-ikutan berusaha mencarinya. Polisi di minta mencari jejaknya. Rumahnya
dalam keadaan rapi ketika Will pergi. Di lacak ke rumah orangtuanya, Will
ternyata tidak pernah ke sana. Polisi pun mengeluarkan hipotesa bahwa Will
mungkin telah menjadi korban pembunuhan. Hiruk pikuk tentang hilangnya
Will pun mereda. Semua orang kembali ke aktivitasnya masing-masing. Para gadis
yang pernah dikencaninya pun telah membuang Will dalam agenda mereka.
Benarkah
Will telah menjadi korban pembunuhan? Jane, seorang gadis yang dikencani Will
terakhir kali, meragukannya. Dalam hatinya, Jane berharap agar Will selamat dan
ada di suatu tempat yang aman saat ini. Meskipun hanya pernah kencan beberapa
saat, dia terus menunggu Will. Ketika rumah Will dilelang oleh keluarganya,
Jane membelinya dengan syarat agar semua barang-barang Will tetap di tempatnya.
Setelah aperteman itu menjadi miliknya, setiap hari dia mampir ke rumah Will
untuk membersihkan dan memastikan bahwa semua barang-barang Will masih tetap di
tempatnya. Dia percaya bahwa Will akan kembali ke rumah itu kelak, dan dia akan
menunggunya.
Tapi
Will tidak pernah kembali. Tidak pada tahun itu. Suatu malam, sekitar 1,5 tahun
setelah hilangnya Will, setelah Jane membersihkan rumahnya yang merupakan milik
Will sebelumnya, dia memperhatikan adanya sesuatu yang ganjil. Ada guratan di
lantai di sebelah meja kayu bulat yang ada di dekat perapian. Penasaran, Jane
berusaha menggeser meja itu. Ternyata, ada sebuah lubang sekitar 30 cm dalamnya
dan berdiameter sekitar setengah meter di lantai yang ditutupi meja itu. Di
lantai lubang ada besi yang menjadi alasnya.
Jane
mengambil linggis dan mulai berusaha menghancurkan lantai itu. Tapi sia-sia.
Dia pun memanggil tukang besi. Ternyata, besi itu dikendalikan oleh tenaga
listrik. Dan kabel ke arah sumber listrik tidak tersambung ke aliran
listriknya. Alhasil pintu besi lubang itu tidak dapat dibuka. Setelah listrik
tersambung, pintu itu berhasil dibuka dengan mudah. Ada sebuah lorong yang
menuju entah ke mana. Berbekal lampu senter, Jane menuruni lantai. Sekitar 20
meter kemudian, lorong itu berujung di sebuah kamar yang indah di bawah tanah.
Dalam hatinya terbersit harapan akan menemui jejak Will di kamar itu. Sebuah
foto ayah dan Ibu Will tergantung di dinding. Will pasti telah membuatnya, pikir
Jane.
“Jane,
apa yang kamu lakukan di sini?” Sebentuk suara sengau mengagetkan Jane. “Will,
kaukah itu?”
Ternyata
Will ada di kamar itu. Kondisinya kurus kering dan pucat. Selama 1,5 tahun
ternyata dia tidak ke mana-mana. Dia hanya berada di kamar itu, yang sengaja di
buat Will sendiri untuk melepaskan diri dari segala kesibukan. Akhirnya
terkuaklah semuanya. Pada suatu ketika Will sedang berada di kamar rahasianya.
Jane datang. Di cari-cari, Will tidak ada. Jane berpikir bahwa Will mungkin
pergi. Oleh karena itu Jane pun pergi. Sebelum pergi, dia mematikan lampu di
rumah Will yang saat itu tengah menyala. Dia mencabut kabel-kabel yang masih
tersambung dengan sirkuit/steker listrik. Dipastikannya rumah itu aman sebelum
dia beranjak.
Rupanya,
tindakan Jane mencabut aliran listrik telah menjebak Will di dalam kamar bawah
tanahnya selama 1,5 tahun. Saat itu Will tengah berada di kamar bawah tanah dan
mencoba pintu lubangnya secara elektris. Tanpa listrik, pintu itu tidak akan
pernah terbuka. Will pun tidak bisa menggali karena dinding lubang dan kamar
bawah tanahnya telah disemen sangat tebal sedemikian rupa. Lebih-lebih tidak
ada alat untuk menggali di dalam sana.
Bagaimana
Will makan? Minum tidak kesulitan. Kamar bawah itu telah dialiri air ledeng
dari rumahnya yang di atas. Ada WC di dalam sana. Will beruntung dalam soal
makanan. Di kamarnya dia menyimpan roti yang sedemikian banyak. Semula Will
merencanakan agar roti yang disimpan di kamar bawah tanah cukup untuk sebulan,
sebab hanya sebulan sekali dia belanja. Roti itu untuk bekal dirinya di kamar
itu karena dia senang tidur dan membaca di bawah sana. Tapi ketika dia tahu
bahwa dirinya mungkin terjebak di dalam kamar itu selamanya atau akan keluar
tapi dengan peluang sangat kecil, dia memilih yang terakhir. “Aku ingin
ditemukan. Aku ingin hidup” katanya. Jadi ia menghemat roti itu selama
mungkin. Hasilnya, satu setengah tahun dia bisa bertahan dengan roti yang
semula dicadangkannya hanya untuk sebulan. Saat ditemukan Jane, roti
terakhirnya habis 2 hari yang lalu. Will sendiri sudah tidak berharap akan ada
yang menemukannya. Dia pasrah. Tapi mukjizat terjadi. “Tuhan mengirimkan Jane,”
ujar Will.
Jane
sangat merasa bersalah atas kejadian itu. Dengan inisiatif sendiri dia
menyerahkan diri ke polisi untuk ditangkap. “Dia telah menebusnya. Bukankah dia
yang menemukanku? Bukankah dia yang membeli rumahku dan memastikan rumahku
tetap seperti keadaan semula. Jika bukan karena kejadian ini, aku tidak akan
pernah tahu siapa yang benar-benar mencintaiku” ujar Will kepada petugas polisi
ketika dia datang untuk membebaskan Jane, “Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk
merasa bersalah” katanya kepada Jane.
Hal-hal
kecil yang kita lakukan kadang membuat perubahan yang sedemikian besar pada
orang lain. Tindakan Jane yang mencabut steker listrik telah memerangkap Will
di kamar bawah tanahnya. Tapi, keyakinan Jane bahwa Will masih ada juga telah
mendorongnya secara tidak sadar untuk menyelamatkan Will. Dunia kadang bekerja
dalam proses-proses yang tidak sepenuhnya dapat kita mengerti.
Sumber
: http://psikologi-online.com
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar